Boleh dibilang saya adalah seorang penggemar Tulus yang cukup mengikuti karya-karyanya. Dan salah satu kekuatan darinya adalah kemampuan meramu lirik dengan pilihan-pilihan diksi yang luar biasa. Sebuah lagu cinta klise bisa menjadi elegan dan berkelas di tangannya.
Mereview album terbarunya rasanya tidak akan bisa tanpa membandingkan album-album sebelumnya. Manusia, menjadi sebuah album kedewasaan seorang Tulus. Yah, lebih dewasa dari Monokrom yang juga lebih dewasa dari Gajah.
Dan tentu saja masih memiliki kekuatan pada lirik. Dalam album ini kita seolah diajaknya untuk merenung, berpikir dan berproses untuk menjadi Manusia. Mungkin selama ini kita masih setengah manusia. Selama 38 menit kita seperti dituntun olehnya untuk mendalami pikirannya, dan juga pikiran kita.
Di album ini vokal Tulus terasa lebih terasah dan mulus saat memainkan, meliukan dan mengeksplor ruang improvisasi yang lebih luas. Hanya saja, menurut saya, membuat beberapa artikulasi dan prononsasi kalimat terdengar seperti dengungan dan tidak jelas. Sedikit sulit kita menikmati lagu tanpa membaca liriknya langsung.
Balutan musik album ini jauh lebih elegan dan mewah karena banyak dibantu musisi-musisi ternama, terutama untuk departemen orkestra yang dibantu oleh Erwin Gutawa. Tulus memang tidak main-main untuk menciptakan pengalaman musik yang indah.
Tapi, di balik itu semua, saya merasa kehilangan musikalitas Tulus yang begitu tulus dan menyenangkan seperti yang saya temukan di album pertama dan kedua. Album pertama sangat kental akan nuansa jazz yang dibalut musik pop. Makin ke sini jadi terbalik, musik pop yang dibalut jazz. Hingga akhirnya album Manusia yang sangat pop dan menghilangkan citarasa jazz Tulus.
Tapi dengan album ini, kita bisa menasbihkan Tulus sebagai seorang solois pria terbaik yang Indonesia punya. Kalau solois perempuan disebut Diva, maka pria disebut?